Kompleks : Sebuah Deduksi
Carl Jung, seorang psikolog ternama asal Swiss, menulis sebuah teori menarik tentang deduksi analitis yang dapat memperlihatkan pada kita bagaimana alam bawah sadar seseorang mempengaruhi alam sadarnya. Menurutnya, kita dapat mempelajari pemikiran itu dengan tidak mengambil kesimpulan dari pernyataan seseorang, melainkan dapat mengungkap apa yang seseorang itu sembunyikan dibalik pernyataannya.
Pemikiran alam bawah sadar personal, oleh Jung dinamakan sebagai kompleks, yang bila disetujui banyak orang maka bisa menjadi bersifat alam bawah sadar kolektif. Salah satu contoh yang paling relatable bagi kultur orang Indonesia adalah kompleks “menikah muda”, dan bila diterjemahkan ke mitos alam bawah sadar banyak orang menjadi “menikah setelah lulus kuliah” atau kompleks “menikah harus di umur segini”.
Sebab tiap latar belakang tiap orang berbeda-beda, seringkali kompleks alam bawah sadar ini malah menjadi konflik bagi dirinya sendiri. Kalaulah lingkungan sekitar kita banyak yang percaya akan kompleks “menikah muda” tadi, akan timbul perlawanan batin dari kita yang menolak konsep yang disetujui banyak orang tersebut entah karena sudah tidak sesuai dengan zaman atau memang banyak alasan lain dibaliknya. Atau paling tidak, lebih halusnya kita mungkin mengatakan “ah, menikah tak harus muda” atau “menikah tak perlu dengan umur semuda itu kok”.
Bila kita berkonflik dengan alam bawah sadar kita sendiri, maka seringkali bentuknya akan muncul dengan pernyataan di alam sadar. Di zaman sekarang, begitu banyak orang bebas berpendapat dan menulis pernyataannya di laman sosial medianya. Terkesan banyak pernyataan itu begitu bold dan meyakinkan, dengan bumbu kritik dan kesan free-will.
“Hidup gue ya hidup gue, santai!”, “Orang kok banyak bacot yak nanya kapan gue nikah, urus hidup lo sendiri aja sana!”, “Apaan sih nikah muda, udah gila kali! Punya anak nanti mau dikasi makan apa?” dan begitu banyak pernyataan bold yang terkesan seperti bentuk mekanisme pertahanan diri. Deduksi akan muncul dari sana, apakah sebenarnya orang tersebut memiliki hal tersembunyi dibalik pernyataannya atau tidak.
Menurut Jung, itulah kenapa seringkali konflik kita terhadap orang lain itu sebenarnya merupakan proyeksi konflik kita terhadap diri kita sendiri. Ketika kita membuat pernyataan yang tampak mengkritik cara orang lain bersikap, bisa jadi sebenarnya adalah bentuk luapan emosional tak sadar dari konflik yang berasal dari dalam diri. Bisa jadi, orang yang menyatakan berkonflik dengan pilihan orang lain untuk menikah muda sebenarnya karena dia yang berkonflik dengan bayang dirinya yang berkeinginan menikah muda.
Sikap yang negatif terhadap sesuatu mungkin menunjukkan minat positif yang tersembunyi dari hal yang ditolak tersebut, meski sikap itu ditunjukkan dengan cara berkebalikan. Bisa jadi, orang yang terlihat melawan konsep menikah muda sebenarnya adalah orang yang memiliki interest ke arah sana sebab berasal keresahan dari dalam dirinya sendiri. Namanya juga mekanisme pertahanan diri, seringkali yang dinyatakan justru kebalikannya.
Bila dijadikan sebuah pertanyaan deduksi analitis, maka bisa jadi begini “Emang kamu yakin santai dengan hidup kamu yang belum nikah sampai umur segini? Kok kaya ngga setuju banget sih dengan konsep nikah muda?” sebab kalau memang ditanggapi dengan santai yang benar-benar santai, maka seharusnya tidak ditanggapi berlebihan. Kalau sudah sampai ngegas, biasanya ada hal tersembunyi dibalik itu.
Jangan-jangan, memang begitu, orang yang ngegas mengkritik konsep menikah muda bisa jadi sebenarnya orang yang memiliki minat untuk menikah muda (tetapi merasa tidak mampu mencapainya sebab satu dan lain hal, sehingga berkonflik dengan dirinya sendiri).